Dec 6, 2008

Dago Butik, Dimana Art Deco-mu?

Dago Butik, Dimana Art Deco-mu?

Sebuah nama kota akan muncul dalam benak ketika mendengar nama-nama seperti Gedung Sate, Lapangan Gasibu, Braga, Cihampelas, dan Pasupati. Setiap akhir pekan mobil-mobil mewah dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju kota yang dijuluki Kota Kembang ini. Kota Bandung, kota yang menjadi trendcenter fashion, mode, dan lifestyle manusia modern. Kota Bandung, kota yang menjadi laboratorium Art Deco di Indonesia. Bangunan-bangunan bergaya dekoratif geometris pada elemen interior dan eksteriornya tumbuh dengan suatu konsep yang terencana. Beruntunglah, Prof. Ir. Charles Proper Wolff Schoemaker dan Albert Frederik Aalbers menginjakkan kakinya di Indonesia, berkat kedua orang Belanda ini Kota Bandung masih kental dengan aroma Art Deco. Art Deco merupakan salah satu langgam yang sangat luas penerapannya, dalam arsitektur, pakaian, poster, bahkan peralatan rumah tangga. Meskipun tersedia beragam benda yang memakai langgam Art Deco, tidaklah mudah mendefiniskan langgam Art Deco tersebut.

Gaya Art Deco muncul antara tahun 1920-1930 tapi bukan jaminan apabila bangunan yang dirancang pada tahun-tahun tersebut lantas bisa dinamai arsitektur Art Deco. Kata Art Deco sendiri justru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966 dalam sebuah katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Decoratifs di Paris yang pada saat itu sedang mengadakan pameran dengan tema “Les Années 25”. Pameran itu bertujuan meninjau kembali pameran internasional “l’Expositioan Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes” yang diselenggarakan pada tahun 1925 di Paris. Awalnya nama Art Deco dipakai untuk menamai karya seni yang saat itu sedang populer dan modern.

Begitu banyaknya negara yang menerapkan langgam ini membuat Art Deco berkembang pesat, termasuk di Indonesia, hal ini mempersulit pendefinisian langgam yang bangkit kembali pada tahun 60-an ini. Setiap negara yang menerima langgam Art Deco mengembangkannya sendiri, memberikan cita rasa lokal sehingga Art Deco di suatu tempat akan berbeda dengan Art Deco di tempat lain. Tetapi secara umum mereka mempunyai semangat yang sama yaitu menggunakan ornamen-ornamen tradisional atau historikal, sehingga langgam Art Deco merupakan langgam yang punya muatan lokal.

Pada akhir tahun 2006 berdirilah sebuah Apartemen di daerah Simpang Dago dengan nama Dago Butik menjulang setinggi 14 lantai dan menancap sedalam 2 basement. Terletak di salah satu organ penting kota Bandung, yang sejak dulu merupakan kawasan hunian dan landmark tertua pretisius dan eksklusif, begitu menurut PT. Parama Dharma Goup, pengembang yang menangani proyek besar ini. PT. yang berdiri sejak 1982 ini juga menegaskan Dago Butik memiliki lokasi yang strategis bagi para pengusaha atas untuk bermukim dan berinvestasi.

Sang arsitek Bapak Iman Rahman Sarman, dari PT. Parama Dharma, berusaha memunculkan gaya arsitektur Art Deco pada apartemen ini, dengan maksud menghadirkan kembali suasana arsitektur Bandung jaman kolonial dahulu 1920-an. Namun jika menengok sejarah Art Deco sekali lagi, benarkah Dago Butik memiliki semangat Art Deco? Facade yang ada memang dibuat dengan tempelan-tempelan bentuk geometris, akan tetapi hanya sekedar pola yang berulang, tanpa irama. Art deco yang terjadi adalah Art Deco yang kehilangan art(seni)-nya. ”Arsitektur Art Deco merupakan arsitektur ornamen, geometri, energi, retrospeksi, optimisme, warna, tekstur, cahaya dan simbolisme”, ujar Alastair Duncan dalam bukunya Art Deco, 1988.

Hotel Preanger Bandung rancangan Schoemaker merupakan arsitektur berlanggam Art Deco dengan ciri khasnya elemen dekoratif geometris pada dinding eksteriornya. Selanjutnya perkembangan arsitektur Art Deco di Indonesia tampil lebih sederhana, mereka lebih mengutamakan pola garis-garis lengkung dan bentuk silinder, contoh konkret dari konsep ini adalah Vila Isola Bandung (sekarang gedung IKIP) yang juga rancangan Schoemaker. Kesederhanaan bentuk belumlah mewakili semua konsep arsitektur Art Deco ini karena kedinamisan ruang interior dan eksterior dapat dilihat dalam lay out bangunannya. Apakah ada kedinamisan tersebut pada Dago Butik? Ruang luar seolah hanya angan belaka. Semula lahan tempat berdirinya Dago butik merupakan rumah hunian yang kemudian dijadikan kos untuk mahasiswa ITB, memiliki halaman yang cukup luas dan bergaya rumah kolonial. Lahan berukuran kurang lebih 50m x 25m ini hanya disisakan 200 m2 untuk ruang terbuka. Padahal menurut peraturan dan rencana tata ruang dan wilayah daerah dago, minimal ruang terbuka adalah 30% dari luas lahan, sekitar 375 m2, itu pun merupakan area yang mampu meresap air dengan baik. GSB dari jalan memang sudah memenuhi akan tetapi GSB dari belakang (utara) limit 0 m yang seharusnya memiliki jarak 3 m. Bapak Sinaga, pemilik sebuah rumah kos di Jl. Cisitu Baru No.1 (sebelah utara Dago Butik), mengaku merasa terintimidasi oleh tingginya apartemen baru ini. Sejak awal pembangunannya saja sudah sering menimbulkan masalah seperti suara yang bising dan plesteran yang jatuh mengenai atap rumahnya dan sekarang yang terjadi adalah tidak lancarnya aliran air hujan ke arah selatan sehingga terjadi genangan di samping rumahnya.

Arsitektur memang menggambarkan kehidupan jaman itu. Pengaruh aliran De Stijl dari Belanda yang menyuguhkan konsep arsitektural “kembali ke bentuk yang sederhana” dan pengkomposisian bentuk-bentuk sederhana menghasilkan pencahayaan dan bayangan yang menarik. Aliran ini pula yang banyak mempengaruhi penganut arsitektur Art Deco di Indonesia. Perkembangan Art Deco akhir di Indonesia mengacu pada kedinamisan dan bentuk plastis yang kelenturan fasadenya merupakan pengejawantahan dari kemoderenan teknologi arsitektural. Agaknya sang arsitek Dago Butik terlalu terburu-buru untuk mengangkat tema Art Deco pada apartemen milik Istana Group ini. Contoh fasade yang mewakili semangat Art Deco lainnya adalah fasade Hotel Savoy Homann Bandung yang dirancang oleh A.F. Aalbers. Lengkungan yang ditampilkan itu merupakan ekspresi gerak, teknologi modern dan rasa optimisme. Orang-orang sering menjuluki lengkungan itu dengan “Ocean Liner Style” mengacu pada bentuk kapal pesiar yang pada saat itu merupakan karya manusia yang patut dibanggakan, bentuk lengkung dijadikan sebagai ekspresi kemoderenan.

Seharusnya sebuah bangunan besar seperti Dago Butik ini harus memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan sekitarnya, bukan hanya sekedar membangun sebagai sebuah kavling tanpa adanya keterkaitan dengan sekitarnya. Sejak lama daerah Simpang Dago merupakan area perdagangan ditandai masih existnya Pasar Simpangdan Cisitu adalah daerah perumahan dan permukiman warga, tidak layak apartemen ini berdiri di situ. Jika kita lihat keluar, Simpang Dago merupakan salah satu titik yang parah menampung kemacetan. Padat merayap kendaraan dari berbagai arah berkumpul di sini. Untungnya, Dago Butik belum memiliki terlalu banyak penghuni, dari 80 unit kamar, baru 32 yang dihuni (data survey April 2008). Tapi dapat dipastikan beberapa waktu lagi Dago Butik akan menyumbangkan kemacetan lebih parah untuk Simpang Dago. ”Pengadopsian langgam arsitektur juga harus memiliki kepekaan yang tinggi agar tidak terjadi ’Kitcsh’(nora)”, ungkapan seorang dosen ITB yang aktif memberi perhatian pada permukiman di Indonesia, Ir. Ismet Begawan H. Menurut Ir. Woerjantari S. yang juga merupakan pengajar di arsitektur, aktif di PSUD, dan sering menangani proyek-proyek konservasi, karya Art Deco memiliki cita rasa yang tinggi terhadap seni, tidak seharusnya bangunan-bangunan baru yang mengadopsi gaya lama merubah pandangan tentang Art Deco kepada masyarakat, dan membuat Art Deco menjadi suatu hal yang asal tempel.

Pada dasarnya Art Deco merupakan bagian dari arsitektur modern lebih terbuka dalam hal perpaduan bentuk maupun gaya. Bisa dilihat pada bangunan-bangunan kolonial di Bandung, ornamen menjadi lebih sederhana, disajikan dalam bentuk pola zigzag, geometris dan berlapis-lapis. Arsitektur Art Deco selain menerima ornamen-ornamen historis, langgam ini juga menerima pengaruh aliran arsitektur yang sedang berkembang pada masa itu. Gerakan arsitektur modern yang sedang berkembang pada saat itu bauhaus, De Stijl, Dutch Expressionism, International Style, Rationalism, Scandinavian Romanticism dan Neoclassicism, Arts and Crafts Movement, Art Nouveau, Jugendstil dan Viennese Secession. Mereka ikut mempengaruhi bentukan-bentukan arsitektur Art Deco serta memberikan sentuhan-sentuhan modern. Modern pada saat itu diartikan dengan “berani tampil beda dan baru, tampil lebih menarik dari yang lain dan tidak kuno” semuanya itu dimanifestasikan dengan pemilihan warna yang mencolok, proporsi yang tidak biasa, material yang baru dan dekoratif. Semestinya Dago Butik yang ingin memunculkan kembali semangat Art Deco mempertimbangkan dan mengkaji lebih dalam tentang Art Deco yang tepat dengan situasi dan kondisi sekitar.

No comments: