Dec 22, 2009

KARYA PERTAMA rumahku sendiri...

Pepaya 88...hubungan ruangnya kacau, tampaknya kacau, budget membengkak, proporsi kacau...haha...maklum baru lulus tingkat 1 waktu itu...






Padepokan Kesenian Jawa Barat

Berawal dari keprihatinan akan pudarnya kebudayaan dan kesenian lokal Jawa Barat...Bapak Gubernur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata akan membangun padepokan kesenian sebagai tempat berlatih dan pertunjukan seni. Karakter bangunannya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu yang mencerminkan Sunda Parahyangan, Sunda Cirebon, dan Sunda betawi. Padepokan tersebut akan dibangun di 13 tempat berbeda tersebar di setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat.




Namanya Siska...dualibulima

Namanya Siska...orang sunda asli, kadang terdengar kental di logatnya. Kami pernah sekelompok dulu di studio perancangan tingkat 2. Orangnya sederhana, pintar, baik, santun, dan taat beribadah. Siska sering dibercandain anak-anak karena susah ngomong errrrr...hehe...tapi begitulah kita, sebaik apa pun orang tetap saja diejekin, sebagai tanda sayang maksudnya. Di tingkat 2 itu pula, aku baru tahu dia sering sakit-sakitan. Waktu itu aku masih menganggap wajar, mungkin karena emang kondisi fisiknya gampang sakit. Kalaupun ijin karena sakit juga tidak terlalu lama, jadi aku ga curiga sedikit pun sakitnya apa. Menjelang hari-hari pengumpulan Siska jarang masuk, semakin sering sakitnya. Akhirnya aku mendengar cerita dari teman-teman kalau dia sakit ayan, epilepsi...cukup terkejut mendengar kabar itu. Dia selalu menyembunyikan sakitnya, hanya teman terdekatnya saja yang tahu.

Bodohnya aku terlalu disibukkan dengan tugas-tugas, hingga lupa kabar tentang Siska. Ingat si ingat...tapi aku hanya ingat bahwa dia sakit. Beberapa minggu berlalu, Siska semakin jarang terlihat di kampus. Akhirnya kabar yang cukup mengejutkan sampai juga di telinga. Bukan hanya telingaku yang panas mendengarnya, jantungku tiba-tiba mengajak menaikkan denyutnya, bulu kuduk berdiri. Sejenak aku memegang kepalaku yang mulai panas juga. Mendengar kata kanker sungguh mengingatkanku pada beberapa orang yang telah tiada karenanya. Shinta, sahabat SMA-ku, rekan bermain musik, terkena kanker. Budhe Sri, Istri dari kakak laki-laki ibuku, kanker rahim. Budheku yang dari ayahku pun demikian, terkena kanker rahim, dan akhirnya meninggal. Tak hanya itu beberapa orang yang pernah aku kenal tapi tidak cukup dekat juga berakhir sama, meninggalkan dunia ini.

Serentak bersama teman-teman kampus yang saat itu masih di kampus, aku berangkat ke rumahnya. Aku terkejut lagi melihat kondisinya, terbaring lemah tak berdaya, bicara gemetaran. Aku hanya bisa diam, sesekali hanya menghadirkan tawa yang agak terpaksa, menutupi betapa ikut bersedihnya aku. Saat itu pula pikiranku mulai ke mana-mana, bayangan buruk tentang Shinta dan Budhe menghantui jalan pulangku dari rumah Siska. Tak sengaja aku berkata ke Nadya, teman sekelompokku juga, bahwa kita harus merelakannya. Dia agak marah ketika aku berkata itu. Maaf, tapi itulah yang aku rasakan. Aku masih bisa melihat semangatnya, semangat untuk sembuh, semangat untuk tetap kuliah dan menjadi arsitek kelak.

Siska sakit kanker otak...berbagai usaha alternatif ditempuh orang tuanya. Kondisinya setelah pengobatan kadang membaik kadang memburuk. Itu kata orang tuanya. Tapi menurutku, dia semakin menurun kondisinya. Seusai Tugas Akhir, aku dan beberapa teman berkunjung lagi ke rumahnya. Seperti biasa, aku tidak bisa bicara banyak tiap melihat keadaannya. Matanya sudah tidak mampu melihat, badannya semakin kurus, bicaranya pun gemetaran. Ya Tuhan, ampunilah dia, berikanlah dia jalan yang terbaik. Dia masih bisa mendengar dengan baik...dan aku ingat dia bertanya ke aku, “Didit, dari tadi kok diem aja?”...itu kata terakhir yg aku dengar dari dia.

Enam bulan berlalu, aku terlalu sibuk juga dengan pekerjaan baruku. Ada rencana akan menjenguknya lagi akhir minggu ini, setelah teman-temanku yang belum lulus menyelesaikan TA-nya. Namun, Tuhan berkehendak lain, kita menjenguknya dalam keadaan dia sudah tidak bernyawa. Kamis, 17 Desember 2009, dia pergi dan tidak kembali. Aku harus menahan air mata hingga pulang dari peristirahatan terakhirnya. Aku tidak mau dia kesulitan gara-gara air mataku yang mungkin tak berarti. Doa, doa, dan doa yang bisa aku berikan. Setelah pemakaman aku sempatkan ke rumahnya, berkunjung ke orang tuanya. Mereka bercerita tentang detik-detik terakhir kepergiannya. Dua hari terakhir ini kondisinya benar-benar drop. Terburuknya adalah dia sudah tidak dapat bicara. Kata-kata terakhirnya kepada ibunya adalah, “Bu, Siska udah capek, Siska berhenti kuliah aja soalnya temen-temen udah banyak yang selesai kuliahnya”. Setiap malam setelah solat malam, ayahnya selalu mengecek kondisinya. Tapi malam itu, sang ayah mendapati anaknya sudah dingin di bagian kakinya. Ayahnya terdiam beberapa saat, baru membangunkan sang ibu yang tertidur. Mereka begitu ikhlas merelakan kepergiannya. Karena memang itu yang terbaik, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana hati orang tua jika melihat anaknya setiap hari menderita karena sakit. Tapi aku tetap melihat kesedihan terpancar jelas di raut kedua orang tuanya.

Innalilahi wa inna ilaihi roji’un....sampai jumpa lagi Siska


Facade Bambu Pejaten