Jun 7, 2007

Kritik Arsitektur AR 3241

Institut Teknologi Bandung yang seharusnya mencetak pemuda-pemuda harapan bangsa dengan pemikiran cemerlang, keahlian yang memajukan bangsa, dan ide-ide yang menginspirasi, akankah tenggelam oleh toyota, hyundai, suzuki, dan mitsubisi? Akankah dinding-dindingnya terbalut oleh kertas pengumuman? Akankah keharuman namanya seharum tumpukan sampah di sebelah kebun binatang? Tidak adakah pengetahuan dan kepedulian lingkungan yang melekat di otak mereka? Atau mungkin bapak dan ibu dosen tidak mempedulikan ilmu yang diberikan akan diterapkan atau tidak? Saya tidak akan bicara terlalu banyak tentang masalah-masalah yang dihadapi ITB, bisa jadi satu buku tebal untuk menceritakannya.

Sebagai mahasiswa arsitektur saya akan berbicara dalam konteks arsitektur dan lebih memfokuskan kepada gedung kuliah saya. Saya merasa gedung labtek ixB kurang memenuhi kriteria sebagai gedung arsitektur. Melihat begitu banyaknya kebutuhan ruang yang kurang, menunjukkan bahwa gedung tersebut tidak direncanakan dan dirancang dengan matang sebagai sebuah gedung yang menampung kegiatan mahasiswa arsitektur. Jika jangka waktu mahasiswa S1 menyelesaikan kuliah tercepat adalah 4 tahun 1 semester, padahal hanya terdapat 3 ruang studio, maka yang terjadi adalah penggunaan satu studio oleh 2 angkatan secara bergantian. Hal tersebut sangat tidak efektif mengingat bahwa di studio terdapat banyak karya mahasiswa yang mungkin dalam tahap pengerjaan dan tidak bisa dibawa ke rumah karena alasan ukuran dan peraturan, jika harus bergantian itu artinya ada 2 pasang tangan yang berbeda dengan otak yang berbeda pula akan mengubah atau bahkan merusak karya yang sebelumnya dikerjakan di meja tersebut. Apalagi jika terjadi mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan masa kuliahnya tepat waktu(lebih lama dari 5 tahun misalnya), maka memasuki studio yang seharusnya cukup luas seperti menaiki kereta api kelas ekonomi dari Bandung ke Jogjakarta, sumpek, lama pula.

Keluar dari studio, turun menuju ke ruang lantai 1 yang diselubungi kaca, penghuni gedung ini biasa menyebutnya sebagai galeri arsitektur. Jika ruangan tersebut memang dirancang untuk sebuah galeri dan ruang serba guna, akan lebih baik jika kolom-kolom berdiameter hampir 1 m tidak menghalangi pandangan. Kemudian saya juga kecewa dengan pemasangan AC di ruangan tersebut, hal itu mengindikasikan bahwa gedung yang dihuni oleh pakar-pakar dan calon arsitek tidak dapat merespon iklim dan lingkungan sekitar dengan baik. Jalan lagi ke belakang kita akan berada di TPS milik IMA-G, gudang Bang Edi, dan ruang-ruang yang tidak jelas statusnya. Tidak dapat dipungkiri ruangan-ruangan tersebut selalu terlihat lebih hidup dari ruangan manapun di gedung arsitektur, tapi untuk apa kita belajar arsitektur jika lingkungan sekitar kita tidak berwawasan dan menerapkan prinsip arsitektur?

No comments: